Sedap Malam dan Tetes hujan di Pagi Hari...

Selasa, 01 November 2011 0 komentar



(pic from google)

(Backsound: Nanti Dulu-Kamaya ft Firman)

“Hei.. Tata... Happy Birthday ya....” Didit datang membawa seikat bunga sedap malam yang dirangkai dengan bunga lili ungu di tengahnya.

Didit menarik kursi, duduk dan meletakkan bunga di ats gelas serupa vas.

“Sumpah.. Aku gak pernah ngira.. ternyata kamu ulang tahun juga.” Memercingkan mata dan senyum simpul.

“Iya.. . karena setahuku, seumur hidup kamu gak pernah lahir Ta... gak pernah ulang tahun gitu..” bibir Didit manyun sembari menggaruk ujung hidung.

“Setahuku kamu gak pernah lahir Ta... Bidadari kan turun dari langit..”
Suasana hening beberapa saat, bersama dengan itu suara melodi rintik hujan terasa lembut pagi itu.

“Garing ya? Hehehe... Oke deh Ta... entah kenapa akhir-akhir ini selalu terasa lebih garing, gak kayak waktu SMP dulu, sampai kamu ngejar-ngejar aku.” Menggaruk-garuk rambut ikal acak dengan ujung kuku.

“Iya ta... kalo dipikir-pikir kenapa aku SMP bisa selucu itu ya... berani main drama di atas panggung, ah.. bagiku bukan sebuah drama, tetapi murni lawakan.. Masih inget banget gimana Kepala Sekolah kita dulu ketawa sampai mukanya merah, dengan kumis hitam lebat, mirip seperti kostum AC Milan merah-hitam.. hehehe”

Tata tetap tak bergeming dengan ekspresi muka datar.

“Jika mesin waktu itu ada, aku akan kembali ke masa itu, mengulang saat-saat kamu tersenyum menatapku malu-malu, dengan rambut kriwil sebahu, dan yang paling penting, menurutku saat itu lah yang paling tepat untukku berkata tentang cinta.”

“Tapi kalo dipikir-pikir lucu juga kalo SMP kita jadian, Didit Sukmawijaya seorang anak laki-laki dekil hitam dengan tinggi rata-rata air, bersanding dengan Jelita Anggun Pratama salah satu anak perempuan most wanted di Sekolah, dan inget gak... waktu itu aku pun gak lebih tinggi dari bahumu.. hahahha”

“Maafkan aku ya Ta... jika saja waktu itu aku lebih berani sedikiiiiiiit aja... mungkin gak akan begini jadinya, ah masa lalu selalu datang untuk disesali.”
Tata menghela nafas panjang, diam tanpa kata.

“Ta... sampai kapan kamu diemin aku kayak gini? Tak berkata sepatah kata pun.. dan bahkan menatapku pun tidak.”

Didit lantas beranjak dari tempat duduknya, merapikan susunan bunga sedap malam dalam gelas serupa vas. Mekar pucuknya, tanpa mewangi di pagi itu.

“Terkadang ta... aku juga cemburu pada bunga sedap malam, entah kenapa kamu selalu bisa mencintai bunga itu, tak peduli wanginya hanya di malam hari. Kamu selalu senyum ketika melihat bunga itu. Ahh.. buat apa juga aku mencemburui sebuah bunga.”

“Selamat ya Bunga sedap malam... kamu dicintai Malaikat dari surga..” Didit mengelus ujung bunga dengan lembut, memetik satu dan menghirupnya lekat-lekat
Tetes air hujan, rintik menggelayut di jendela kaca, perlahan turun dan menetes lembut di ujung sudut jendela.

“Coba lihat jendela di luar sana, terkadang aku cemburu pada awan dan hujan, yang memberikan cintanya kepada tanah, tanpa memintanya kembali ke langit.”

“Tapi, tahukah kamu Ta... Tuhan juga Maha Mencinta, dijadikannya tanah juga mencinta, mengalirkan air keluar dari mata air, mengalir dari hilir, menuju laut, dan dikembalikannya air itu menuju langit dengan cara yang jauh lebih lembut..”

“Ah.. Tuhan memang Maha Mencinta, Sebaik-baik perencana.”

***

Pintu Kamar 102 terbuka perlahan, seorang remaja wanita dengan wajah binar berteriak.

“Assalamu’alaykum.... HAPPY BIRTHDAY Nenek....!!! Get well soon ya..!!!!”

“Chiella... bukankah kamu seharusnya belajar di Amerika?” Didit menggumam.

“Kakek... ini hari spesial... itu Ayah-Ibu juga pulang, masih di belakang.” Sambil mencium tangan kakeknya.

Didit menggenggam lembut tangan Tata, dua tangan keriput mereka lembut beradu. Tata menghela nafas besar, membuat masker oksigen yang dikenakannya mengembun. Ia masih tak sadarkan diri.

Lembut Didit berkata,
“Iya Chiella... Setelah hari Kartini... memang selalu ada hari spesial.”

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Bravo | TNB