Saya sebut itu monster

Minggu, 06 Februari 2011 4 komentar


-Backsound: Bad Day-Danie Powter-

Hari itu, masih teringat sekali dalam benak, dalam relung hati yang paling dalam, 2 Februari 2011, salah satu hari terkelam dalam hidup saya.

Lelap tidur mulai hilang, sedikit demi sedikit mata terbuka, terasa hembusan udara yang masuk ke dalam lubang hidung yang kecil, sesekali tangan ini menyeka ujung mata, mengangkat semua beban yang membuat mata ini serasa berat, terdengar lamat-lamat suara lantunan surat Al-Fajr dari speaker bercorong dari masjid yang hanya sekitar 50 meter dari hotel. Terhenyak dengan lantunan ayat tersebut, tangan kiri saya meraba-raba di atas tempat tidur, mencari telepon genggam, yap.. waktu menunjukkan pukul 03.45 WIB, tak lantas hanya melihat jam di pojok kiri atas, kursor saya arahkan ke aplikasi nimbuzz mobile, sekedar melihat masih adakah mention atau DM dari teman-teman, hmm.. setelah membaca, tanpa mereply DM tersebut, kaki pun terayun menuju daun pintu menuju ruang televisi dan beranjak ke kamar mandi.

(berikutnya gak usah diceritain kegiatan rutin pagi hari)


Beberapa saat pun, adzan shubuh pun berkumandang memenuhi setiap sudut kamar, sajadah kembali saya lipat, dan melangkahkan kaki menuju masjid yang tidak jauh dari sudut hotel ini. Masih teringat jelas imam membacakan surat Al-Balad yang menjadi hafalan yang gak tuntas-tuntas. Berkali-kali didengarkan pun tetap saja tidak dapat masuk ke memori otak. Mungkin benar, mata ini masih sering melihat yang bukan seharusnya dilihat, masih sering menuliskan kata “SMU” di mesin pencari google, dengan setting image.

Hmm.. sesuai prinsip yang tidak berubah sejak jaman SMP, Madqo lamcing (Qomad teko salam plencing), hal itu saya lakukan juga untuk shubuh kali ini, ketika selesai salam, dan dzikir (sedikit), saya beranjak untuk pulang melanjutkan mimpi-mimpi indah di atas tempat tidur ukuran nomor satu tadi.

Namun apa yang terjadi, entah ada setan apa, tiba-tiba dalam perjalanan pulang, ketika melangkahkan kaki di trotoar, telah menunggu dengan santai dua ekor anjing, yang mungkin memang pasangan. Ya.. pasangan yang sangat saya benci di muka bumi ini. Kaki pun berhenti melangkah, di mata saya, anjing melebihi seorang preman sekali pun, jika saja saya mario bross anjing ini bagaikan seekor naga yang menculik tuan putri, jika saya ranger merah, mungkin ini adalah ratu repulsa yang sedang tertawa. Jika saya kotaro minami, mungkin ini adalah Jendral Jack atau bayangan hitam. Jika saya tuksedo bertopeng, mungkin ini adalah musuhnya (maaf saya gak tau musuhnya sailor moon). Namun saya bukanlah mario bross dengan jamur dan bintangnya, bukan ranger merah dengan tim power rangers dan tidak ada bantuan zordon, saya bukan satria baja hitam dengan tendangan mautnya, bahkan saya tidak punya mawar yang selalu saya gigit seperti tuksedo bertopeng. Saya hanyalah bravo aldito yang takut pada hewan bernama anjing. Entah mengapa, saya phobia sekali dengan hewan ini. Jangankan menyentuhnya, jarak 3 meter pun saya pasti akan lari. Begitu juga dengan shubuh kali ini, 5 meter merupakan jarak tempur saya dengan anjing ini. Kaki ini sangaat sulit untuk melangkah maju. Saya hanya terdiam, detik demi detik berlalu, namun saya tetap terdiam mencoba berpikir apa yang harus saya lakukan. Dan puncaknya terjadi ketika mata anjing itu mulai mentap tajam kepada saya, hewan itu bangkit dari tempatnya duduk dan seolah-olah berhadap-hadapan dengan saya. Kini kami bagaikan koboi texas yang bertanding satu lawan satu, hanya bedanya ini bukan texas, ini bukan koboi dan ini bukan manusia.

Binatang ini pun sontak menggonggong dengan kerasnya, dan saat itulah saya mengangkat sarung saya, berbalik dan lariiiiiiiii.... entah apa yang ada dalam fikiran saya pada saat itu, hanya lari, ya.. hanya lari.. seperti ada suara syahrini yang sedang meneriakkan, Bravooo.. Lariiilaaaah... larilaaaaah... ,, dan bahkan saya lupa kalau jempol kaki saya sedang mengalami villager disease (baca:cantengan), yang ada dalam fikiran saya hanya berlari.. dan berlari...

Setelah beberapa meter ke depan, saya sadar akan pepatah biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu itu salah. Anjing tidak hanya menggonggong, ia mengejar.. dan akhirnya naas bagi saya yang kali itu memakai sarung. Gigitan anjing tepat mengenai sarung biru saya. Mencabik-cabik dengan giginya, dan robeklah sarung tersebut. Beruntung bagi saya, karena saya masih menggunakan celana pendek di dalam sarung. Beberapa detik kemudian, jamaah pun ada yang datang dan mengusir anjing itu pergi, saya yang masih tersengal-sengal dalam nafas, melepas sarung itu dan membuangnya ke tempat sampah yang telah disediakan. Ribuan terima kasih telah saya sampaikan kepada Bapak Yusuf yang telah menyelamatkan saya dari hal paling mengerikan dalam hidup saya. Bahkan seandainya suatu saat nanti saya menerima nobel atau piala citra di atas podium, saya pasti akan menyebut nama itu.

Akan saya ingat satu nama. Yusuf.



-selesai-

4 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Bravo | TNB