Romansa Cinta Eyang Kakung dan Eyang Putri (Based on true story) Part II

Jumat, 25 Maret 2011 2 komentar



Oke.. Buat yang belum baca Part I, silahkan baca dulu di sini:
Romansa Cinta Eyang Kakung dan Eyang Putri (Based on true story) Part I

(Backsound: All The Way- Frank Sinatra)

Samsul Hadi, hari-harinya dilalui di dalam penjara Belanda. Tidak hanya dikurung dalam jeruji besi yang hitam dan berkarat, Belanda memperbudak pria ini untuk bertani. Menanam segala apa yang dapat ditanam, merawat apa yang bisa dirawat. Yah.. setidaknya kesibukan membuatnya bisa meninggalkan kepenatan.

Cangkul itu sama, gagang kayu panjang dengan lekukan halus diujungnya, menggapit besi hitam pipih berkarat, tajam dan kuat.
Tanah itu sama, butiran coklat gembur dengan licak hitam tersiram butiran air bening, subur.
Padi itu sama, tanaman 80-100 cm merunduk ringkih dengan biji padat terlilit daun, hijau membentang.

Tetapi dia merasa geraknya yang bebas berubah menjadi terbatas, Matahari yang bersinar seolah semakin kejam mencubiti setiap inchi kulit bersisik putih tipis. Setiap desah nafas yang ia hirup seolah semakin sesak memenuhi kerongkongan dan paru. Air putih kendi dingin yang diantar dengan senyum Ibu dan adik tak ada lagi. Tersadar sepenuhnya, bukanlah air putih itu yang membuatnya semangat kembali bertani, senyum itu yang bisa membawa kekuatan baru. Ada sesuatu yang hilang.

Sepenuhnya tak ada penyesalan dari dalam benak pemuda ini. Meskipun ia gagal, setidaknya semangatnya masih bisa diperjuangkan kawan-kawannya di seluruh antero negeri ini. Setidaknya dia sudah berjuang untuk anak cucunya nanti. Ia rela mati demi merubah getir pahit nasib yang pernah dialaminya, dialami ayahnya. Tak rela jika anak cucunya harus merasakan getir yang sama, penderitaan yang sama. Ia ingin anak cucunya kelak bersanding sejajar dengan bangsa-bangsa lain, tak melulu meneteskan perihnya cambuk darah kesakitan, tak selalu merasakan pahitnya air liur yang ditelan lagi untuk menambal sisi kosong lambungnya. Ia tahu sel tahanan dan serdadu Belanda yang berdiri mematung dengan tawa angkuh itu tak lama akan ia tinggalkan, entah sebulan ke depan, setahun atau dua tahun ke depan, tak ada yang tahu..


***

Chosiatin, setiap hari yang dilaluinya hanya tangisan air mata yang tak kunjung berhenti, tak bisa ditambal. Dadanya masih pilu sembilu dalam luka menganga yang tak kunjung terobati. Tergerak ia untuk segera pindah berkemas, kembali ke rumah ayahanda dan ibunda. Mencoba menghapus kenyataan, kenyataan yang pedih sebuah episode kelabu. Yah.. setidaknya dia masih memiliki ayah dan ibu untuk tempat mengadu.

Cangkir tempat ia minum itu sama, keramik putih gambar perahu warna biru dengan gagang cuping telinga kecil persis tak ada goresan atau bercak secuil pun.
Sendok makan itu sama, besi stainless steel mengkilat dengan ujung bengkok melengkung tanggung membesar tak ada goresan atau bercak secuil pun.
Rembulan malam itu sama, berpendar memantulkan cahaya matahari namun tetap tak mampu menerangi seluas jagad, tak ada yang berubah.

Tetapi rumah ayah dan Ibunya kini seolah hanya sekumpulan puing-puing membisu, hari demi hari dilaluinya dengan berbagai kesibukan layaknya Ibu rumah tangga. Menyapu, mengepel, mencuci, setrika, merapikan apa yang ada. Berulang kali barang ditata, baginya tetap terlihat berserakan. Tak bisa rapi, tak ada yang memuji, tak ada senyum itu. Ada sesuatu yang hilang.

Bayi dalam kandungan itu semakin lama, semakin membesar. Berdesakan dengan kulit ibunya yang semakin elastis mengikuti. Ia menatapnya nanar, setiap tatapannya memutar kembali memori otak seperti slide demi slide powerpoint show yang terus saja menayangkan kenangan indah itu. Air mata jatuh, membasahi kain “jarik” motif batik yang membalut tubuhnya kala itu. Sudah tak terhitung berapa kali air mata itu jatuh hingga selang beberapa bulan, bayi mungil ini lahir di dunia, berteriak dengan tangisan kencang. Seorang laki-laki yang kemudian diberi nama “Lusif Mustaqim.”

***

Wanita itu akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang guru, guru agama di sebuah madrasah NU di kota Malang, bayi kecil tersebut diasuh Ibu Mertua agar kenangan manis itu tak kembali lagi. Kini ia membuka kembali hari-hari baru dalam hidupnya. Menjadi seorang pengajar yang mencerdaskan bangsa, yang mau meneruskan cita-cita suaminya untuk tetap mengibarkan bendera merah putih lebih tinggi. Jauh lebih tinggi lagi.

Setiap harinya ia berjalan kaki menempuh berkilometer jalanan tanah yang terkadang becek, melewati pematang sawah membentang, dan puluhan rumah yang dihuni banyak warga. Wanita ini terkenal ramah dan senyum yang khas selalu terkembang di antara bibirnya. Seringkali ia menyapa warga sekitar, melemparkan sebuah senyuman manis. Hingga suatu ketika..

Pria yang kala itu masih menjadi tawanan Belanda kembali berpeluh keringat mencangkuli tanah yang entah mengapa kala itu sangat keras terasa, butuh berkali-kali dicangkul agar benar-benar gembur. Peluhnya semakin mengucur deras membasahi kaos tipisnya hingga kuyup. Tak henti-henti tangannya menyeka keringat yang menetes dari ujung rambut hingga ujung dagu di atas kulit yang kini terlihat lebih gelap dari biasanya. Hingga ketika ia menyapu sebuah keringat kecil di atas keningnya, terlihat seorang wanita yang berjalan mendekat di pematang sawah. Wanita itu melemparkan senyuman kecil layaknya ia menyapa warga kampung yang lainnya. Senyuman kecil itu masuk ke retina mata mengirimkan impuls ke otak dan diproses lebih lama dari biasanya. Proses yang lebih berbelit dan terus berputar-putar hingga seketika itu juga tak mampu membalas senyuman kecil itu. Hingga wanita itu lewat dan pergi, ia tetap diam dan terpaku. Sebuah senyuman yang mampu menembus jantung hati, sebuah senyuman yang membuat panas terik matahari terasa lebih hangat membelai kulit, sebuah senyuman yang membuat kelopak mata enggan untuk menutup membasahi bola mata hitam mengerjap.

Sementara, Wanita itu terus berjalan seperti biasa, meninggalkan petani tawanan berdiri diam mematung.




bersambung

2 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Bravo | TNB